Headlines News :
Home » » Posisi Petani dengan PG: Ibarat “Gudhel Nyusui Kebo”

Posisi Petani dengan PG: Ibarat “Gudhel Nyusui Kebo”

Written By Arti News on Monday, 19 August 2013 | 13:11

H Cholid Makarim
JOMBANG, ArtiNews - Sebelum masa giling dimulai, pihak PG (pabrik gula) melalui General Manager (GM) selalu memberi pernyataan prediksi rendemen. Prediksi ini dihasilkan dari analisa staf masing-masing sesuai bidangnya. Prediksi itu disampaikan resmi kepada petani melalui forum temu kemitraan (FTK) maupun media massa.

Selama tiga tahun terakhir ini, prediksi rendemen di PG Tjoekir selalu saja meleset. Tahun 2011, prediksi rendemen PTPN X sebesar 7,9 persen, pada kenyataannya tidak tercapai. Tahun 2012 rendemen diprediksi 8,7 persen juga meleset. Dan tahun 2013 ini, Dirut PTPN X, Subiyono memprediksi akan memulai masa giling dengan rendemen minimal 8 persen. Kenyataannya, awal giling 2013 ini tidak sesuai prediksinya, dimana pada periode pertama rendemen tebu hanya kisaran 7 persen dan terus mengalami penurunan drastis yakni di level 6 persen hingga periode keempat masa giling.

"Tidak tercapainya prediksi rendemen ini memunculkan image bahwa pernyataan para administratur atau Dirut PTPN X ini hanyalah asbun (asal bunyi) saja. Lebih kritis lagi, tanpa mereka sadari, mereka telah melakukan pembohongan pada publik. Mereka hanya memberi iming-iming rendemen tinggi, padahal tidak pernah tercapai," kata H Cholid Makarim, Ketua APTR Rosan Tijari.

Sebelum memberikan pernyataan prediksi besaran rendemen, mereka pasti sudah mengetahui kondisi di setiap PG. Misalkan pada tanaman yang sudah melalui proses tanam yang baik dan benar. Selain itu, adanya revitalisasi pada alat produksi PG, dan lainnya. Berdasarkan itulah, muncul prediksi rendemen.

"Nah, kalau prediksi itu selalu tidak tercapai, dengan kenyataan rendemen tebu petani merosot dibawah prediksi, kan petani sendiri yang kelimpungan. Jika dibiarkan begitu saja, tentu akan menyebabkan petani rugi, petani enggan menanam tebu. Pada akhirnya, PG jugalah yang ikut rugi, karena pasokan tebu tidak mencapai target. Maka wajar jika petani meminta kesadaran PG agar mensubsidi petani dengan memberi jaminan rendemen minimun 8 persen, dua hingga tiga periode masa guling tahun 2013 ini," jelasnya.

Dinilai wajar, menurut H Cholid Makarim, karena seperti istilah "Kebo nyusui gudhel" atau "Sapi nyusui pedet". Di dunia pertebuan atau pergulaan, istilah itu terbalik menjadi "Gudhel nyusui kebo" atau "Pedet nyusui sapi". "Gudhel" yang diposisikan sebagai petani selalu memberi subsidi kepada PG, dalam hal ini diposisikan sebagai "Kebo".

Istilah ini didapat dari kenyataan bahwa selama puluhan tahun tetes tebu yang diberikan hanya sebesar 2 kg. Dan pada tahun 2003 dinaikkan menjadi 2,5 kg, itupun melalui desakan petani hingga mogok massal petani PG Tjoekir. Padahal, sejak zaman Belanda, kandungan tetes dalam tebu adalah sama.

"Artinya, kandungan tetes dalam tebu sekitar 5 kg sampai 5,5 kg. Mengacu pola kemitraan, maka petani hanya mendapat bagi hasil tetes 35 persen, dan PG 65 persen. Tetes ini akhirnya banyak diambil oleh PG. Bagi hasinya menjadi tidak seimbang. Maka bertahun-tahun itulah petani mensubsidi PG, atau Gudhel nyusui Kebo. Kalau dinominalkan bisa mencapai ratusan miliar," jelas H Cholid Makarim.

Kemudian, untuk komoditi PTPN X yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi adalah ampas tebu, yang sejak dulu hingga saat ini tidak diberikan kepada petani berupa sharing (bagi hasil) komoditi ini. "Padahal mengacu pada selepan padi, semuanya milik penyelep, mulai dari katul, sekam dan lainnya. Alasan pihak PG, ampas tersebut dibutuhkan dan berguna sebagai bahan baku bioethanol. Kegunaan itu baru-baru ini saja ditemukan. Sebelumnya, selama puluhan tahun, komoditi ampas itu dijual untuk menambah pundi-pundi keuntungan PG. Petani lagi kan yang mensubsidi PG," tegasnya.

Selain tetes dan ampas, petani juga dibebani karung dan plastik gula (interback) melalui harga yang lebih mahal hingga 100 persen, dibanding harga diluar PG. "Petani dibebani harga karung dan plastik kisaran Rp 6.500 hingga Rp 7.000. Padahal, diluar bisa didapat dengan harga Rp 3.000 hingga Rp 3.500 dengan kualitas yang sama, bahkan lebih baik. Ini sudah berlaku bertahun-tahun dan lagi-lagi dinikmati oleh pihak PG," lanjutnya.

Tiga komoditi bernilai ekonomis tinggi tersebut bertahun-tahun dinikmati PG. Tapi, disaat petani dalam kondisi terpuruk dimana rendemen turun 1 hingga 2 poin, ongkos tebang angkut naik hampir 100 persen, harga gula turun antara 15 sampai 20 persen, pihak PG bersikeras menolak permintaan subsidi berupa jaminan rendemen 8 persen. "Jadi, permintaan petani agar disubsidi sangatlah wajar. Kalau kondisi ini berlarut-larut, petani bisa rugi dan mati. Tidak perlu berbicara muluk-muluk terkait dengan teknis dan terbentur ini dan itu, atau alasan lainnya," tegas Ketua KPTR Arta Rosan Tijari ini.

"Dalam skala nasional saja, kita masih ingat saat krisis moneter tahun 1998, pemerintah mengeluarkan subsidi berupa BLBI pada Desember 1998 sekitar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank nasional agar bank-bank tersebut tidak ambruk. Krisis di Eropa pada tahun 2008 yang berimbas pada kenaikan tarif listrik dalam negeri. Pemerintah mensubsidi kepada perusahaan pengguna jasa PLN dengan membayar tarif listrik 50 persen selama 4-5 tahun. Jika setahun pemerintah mengalokasikan Rp 2,2 triliun, maka untuk memulihkan kondisi ini, pemerintah mensubsidi sekitar Rp 10 triliun lebih," lanjutnya.

"Apalagi pada tahun 2012, dengan membanggakan PTPN X memperoleh laba mencapai Rp 506,71 miliar, atau meningkat sekitar 143 persen dibanding laba 2011 sebesar Rp 210,81 miliar. Nah, subsidi yang kita minta itu kira-kira maksimal Rp 200 miliar untuk seluruh PG di PTPN X. Jika target laba/keuntungan tahun giling 2013 ini sama dengan 2012, ini kan hanya mengurangi keuntungan mereka saja. PG/PTPN tidak perlu merogoh kocek lebih dalam. PG/PTPN tidak perlu takut rugi. Sekali lagi, permintaan subsidi ini hanya agar petani tidak kebablasan mati. Ketika kondisi pulih, PG/PTPN bisa saja mengembalikan kekurangan laba yang didapat di musim giling berikutnya. Kalau petani sudah mati, terus apanya yang diperas, PG/PTPN sendiri kan yang rugi," tegasnya.

"Mereka ini hanya ingin memuluskan niat Meneg BUMN, Pak Dahlan Iskan yang kebablasan, yakni menginginkan PG-PG ini bersih dan kinclong semua. Kalau perlu, Pak Dahlan Iskan kalau mau bercermin tidak perlu dibawakan cermin. Langsung saja bercermin ke lantai atau badan mesin. Pak Dahlan Iskan itu tidak pernah melihat penderitaan petani di bawah," kritik H Cholid Makarim.

Soal anomali cuaca yang menjadi alasan utama pihak PG tidak memberikan subsidi kepada petani. Padahal, anomali cuaca itu tidak mengganggu rendemen, hanya mengganggu kwintal tebu. Misalkan saja, per hektar biasanya menghasilkan 1.200 kwintal tebu. Lantas karena anomali cuaca bisa turun sampai 1.000 atau 800 kwintal. "Yang terpenting adalah, jangan biarkan petani ini mati. Kan kejadian seperti ini tidak setiap tahun terjadi. Kalau anomali cuaca sebagai tameng alasan, itu sama saja bukan alasan atau sekedar apriori. Padahal, pabrik gula diluar PTPN berani membeli tebu petani cukup mahal sekarang, dikarenakan adanya asumsi rendemen meningkat signifikan pasca lebaran ini," ujarnya.

"Dari dulu saya menyatakan, penentuan rendemen itu sepihak. Bergantung pada pucuk balpoint ADM PG. Bagaimana tidak, tebu yang ditanam dalam satu areal lahan, kemudian diangkut dengan nama atau kontrak berbeda, rendemennya juga berbeda. Inikan aneh," pungkasnya. [rief]
Share this post :

Post a Comment

 
Support : Anas
Copyright © 2013. Arti News - All Rights Reserved