YOGYAKARTA, ArtiNews - Industri gula merupakan salah satu dari 32 industri prioritas nasional, dan menjadi tren untuk mengulang masa keemasan tempo lalu dengan progam swasembada gula di tahun 2014. Namun hingga kini, swasembada belum tercapai. Saat ini, produksi gula nasional yang dihasilkan dari 63 pabrik dan dalam 10 tahun terakhir ini produksi berfluktuasi antara 1,6 - 2,6 juta ton.
Hal ini dikatakan Tito Pranolo, Direktur Executive Asosiasi Gula Indonesia dalam Seminar Sehari bertema "Arah Baru Kebijakan Pergulaan Nasional" yang diselenggarakan Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Kamis (12/12/2013), di Auditorium Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP), Yogyakarta.
"Produksi tertinggi dicapai tahun 2008 sebanyak 2,66 ton. Namun setelah itu mengalami penurunan tahun 2012 sebanyak 2,59 juta ton. Tahun 2013, diprediksikan mencapai 2,39 juta ton," terang Tito.
Menurutnya, digelarnya seminar ini diharapkan mampu menelor naskah akademik sebagai usulan untuk menyusun kebijakan pergulaan nasional. Dalam seminar ini dihadiri pelaku industri gula baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta, organisasi petani, perguruan tinggi, pemerintah daerah dan pusat, lembaga Diklat, lembaga riset dari seluruh Indonesia.
"Tema ini sengaja diangkat karena AGI menilai kebijakan gula nasional harus disesuaikan dengan situasi terkini, dinamika pergulaan internasional, dan keinginan masyarakat. Diharapkan bisa menelorkan naskah akademik untuk menyusun regulasi pergulaan nasional. Sehingga Indonesia bisa mewujudkan swasembada gula " kata Tito.
Dikatakan Tito, berbagai hambatan baik teknis produksi, manajerial maupun strategi bisnis pabrik gula menyebabkan kelayakan ekonomis industri gula belum mampu mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis yang dinamis.
Kondisi ini diperparah oleh lemahnya sinergi antar pemangku kepentingan (stakeholders) industri gula, akibat belum adanya kebijakan pergulaan nasional yang terintegrasi.
Selain itu, mengantisipasi liberalisasi pasar gula pada Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlaku efeketif mulai 31 Desember 2015, meningkatkan daya saing bisnis baik on-farm dan off-farm yang perlu dilakukan oleh pelaku bisnis industri gula.
"Hal itu memerlukan dukungan regulasi bagi pengembangan industri gula terintegrasi dengan industri derivat (turunan) berbasis tebu untuk meningkatkan kelayakan bisnis industri gula khususnya dari sisi penurunan harga pokok produksi gula agar lebih mampu bersaing dengan gula impor," kata Tito. [rief/tp]
Hal ini dikatakan Tito Pranolo, Direktur Executive Asosiasi Gula Indonesia dalam Seminar Sehari bertema "Arah Baru Kebijakan Pergulaan Nasional" yang diselenggarakan Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Kamis (12/12/2013), di Auditorium Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP), Yogyakarta.
"Produksi tertinggi dicapai tahun 2008 sebanyak 2,66 ton. Namun setelah itu mengalami penurunan tahun 2012 sebanyak 2,59 juta ton. Tahun 2013, diprediksikan mencapai 2,39 juta ton," terang Tito.
Menurutnya, digelarnya seminar ini diharapkan mampu menelor naskah akademik sebagai usulan untuk menyusun kebijakan pergulaan nasional. Dalam seminar ini dihadiri pelaku industri gula baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta, organisasi petani, perguruan tinggi, pemerintah daerah dan pusat, lembaga Diklat, lembaga riset dari seluruh Indonesia.
"Tema ini sengaja diangkat karena AGI menilai kebijakan gula nasional harus disesuaikan dengan situasi terkini, dinamika pergulaan internasional, dan keinginan masyarakat. Diharapkan bisa menelorkan naskah akademik untuk menyusun regulasi pergulaan nasional. Sehingga Indonesia bisa mewujudkan swasembada gula " kata Tito.
Dikatakan Tito, berbagai hambatan baik teknis produksi, manajerial maupun strategi bisnis pabrik gula menyebabkan kelayakan ekonomis industri gula belum mampu mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis yang dinamis.
Kondisi ini diperparah oleh lemahnya sinergi antar pemangku kepentingan (stakeholders) industri gula, akibat belum adanya kebijakan pergulaan nasional yang terintegrasi.
Selain itu, mengantisipasi liberalisasi pasar gula pada Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlaku efeketif mulai 31 Desember 2015, meningkatkan daya saing bisnis baik on-farm dan off-farm yang perlu dilakukan oleh pelaku bisnis industri gula.
"Hal itu memerlukan dukungan regulasi bagi pengembangan industri gula terintegrasi dengan industri derivat (turunan) berbasis tebu untuk meningkatkan kelayakan bisnis industri gula khususnya dari sisi penurunan harga pokok produksi gula agar lebih mampu bersaing dengan gula impor," kata Tito. [rief/tp]
Post a Comment