![]() |
Petani saat hearing dengan Komisi B DPRD Jombang dan pihak PG |
Hearing yang dihadiri Ketua Komisi B Drs Handy Widyawan MSc, dan H Marsaid itu berjalan lama dan alot sekitar empat jam, mulai pukul 13.00 hingga 17.00 WIB. Namun, rapat ini berakhir gagal mencapai kesepakatan.
Petani berharap hearing yang difasilitasi Komisi B itu membuahkan hasil yang menggembirakan. Tapi, jalan untuk mencari solusi atas kemelut di dua PG ini tak kunjung ada. Karena pihak PG Tjoekir melalui GM (General Manager) Ir Sumartono dan GM PG Djombang Baru, Alan Purwandiarto, bersikukuh menolak tuntutan jaminan rendemen 8 persen bagi tebu petani.
Permintaan petani ini didasari komitmen Dirut PTPN X, Ir Subiyono yang siap menjalankan rendemen 8 persen di seluruh PG di lingkup PTPN X.
"Terus terang, kami kobol-kobol (keteteran, red) dengan jaminan minimum 7,5 persen di PG Djombang Baru pada periode giling lalu. Kami yakin, kedepan rendemen tebu petani akan aik seiring cuaca sudah kemarau," ujar GM PG Djombang Baru, Alan Purwandiarto beralasan.
Petani menilai PG tidak adil karena hanya menilai rendemen petani sekitar 4 sampai 6 persen, dengan alasan tebu petani jelek karena anomali cuaca. Menurut petani, tahun 2010 lalu, saat cuaca lebih jelek dari sekarang, rendemennya masih kisaran 7 persen.
"Janganlah cuaca yang dijadikan alasan untuk memperkuat retorika-retorika Anda (GM PG, red). Kemitraan itu harus saling menguntungkan dan didasari saling menjaga kepercayaan. Persoalan lain, tebu dari petani binaan sendiri masih ngendon di emplasemen selama 3 hari, dan inilah salah satu penyebab rendemen tebu turun," sengit H Basyaruddin Saleh, Ketua APTR PG Djombang Baru.
"Anehnya lagi, PG Djombang Baru malah memberi jaminan rendemen 9 persen pada tebu luar daerah. Sedangkan tebu petani binaan sendiri diabaikan. Padahal, jika tebu mereka digiling di PG-nya, rendemen mereka tidak sampai 5 persen kok. Ini jelas-jelas tidak adil. Kami minta ada jaminan rendemen sebesar 8 persen," lanjutnya.
Desakan para tokoh petani, tak membuat kedua GM PG itu berubah pikiran. Mereka tetap menolak memberi jaminan rendemen dan hanya mengatakan optimitmis hari-hari ke depan rendemen akan naik karena hujan sudah tidak turun. Akhirnya, petani memberi tawaran menurunkan tuntutannya sebesar 7,9 persen. Pertimbangannya, dengan rendemen 7,9 persen, baik PG maupun petani tidak rugi.
“Saya hitung, PG bisa mencapai BEP (break even point/titik impas) dengan mematok rendemen sebesar itu. Sedangkan petani juga tidak rugi,” kata H Abdul Kholik, petani PG Tjoekir.
Selain itu, petani meminta dalam penetapan rendemen harus ada unsur petani yang ikut mengawasi, mulai dari kebun hingga keluarnya nira tebu. "Selama ini, kami tidak tahu standar penentuan rendemen yang digunakan PG. Menurut kami, rendemen itu ditentukan seenaknya saja di meja timbang oleh Tim rendemen bentukan PG tanpa melibatkan petani," ujar salah satu petani PG Djombang Baru.
Ketua Komisi B, Handy Widyawan, menyetujui usulan tersebut, dan memberi kesempatan kedua GM PG berunding selama 10 menit. Namun lagi-lagi, GM PG Djombang Baru dan GM PG Tjoekir tetap mengaku keberatan.
GM PG Djombang Baru hanya bisa memberi jaminan rendemen 7,5 persen, dengan persyaratan kandungan nira 18 persen. Tapi tawaran ini ditolak mentah-mentah oleh petani. “Kalau nira harus 18, itu sama saja dengan rendemen 8 persen. Dihitung saja, 18 dikurangi 2 terus dibagi 2, kan hasilnya 8. Itu namanya bukan subsidi, tetap saja PG untung 0,5 persen. Kami jang dibohongi dan dibodohi,” sengit Nafik, petani di Wilker PG Tjoekir.
"Masak GM PG Tjoekir tidak berani memberi jaminan rendemen 7,9 persen. Padahal, tebu layu (tebu yang 3 hari di emplasemen, red) yang digiling tanggal 15 Agustus 2013, padahal didalamnya ada tebu terbakar, itu rendemennya mencapai 7,25 persen," kata Sawung Agus, petani PG Tjoekir.
"Perlu digaris bawahi, ini sifatnya emergency (darurat). Intinya petani meminta subsidi dari pihak PG Tjoekir. Dan permintaan ini sangat wajar. Dalam kondisi darurat saat krisis ekonomi 1998, pemerintah mensubsidi 48 bank melalui BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sekitar Rp 147,7 triliun pada Desember 1998. Selain itu, krisis di Eropa tahun 2008 yang berimbas kepada naiknya tarif dasar listrik. Saat itu pemerintah mensubsidi agar listrik dibayar 50 persen saja dengan alokasi sekitar Rp 2,2 triliun per tahun selama 4 tahun. Jadi sekitar Rp 10 triliun lebih. Peristiwa ini, masak pihak PG tidak mau memberikan subsidi disaat petani terpuruk oleh merosotnya rendemen," timpal Alexander Fahd, petani PG Tjoekir.
Menanggapi itu, GM PG Tjoekir, Ir Soemartono tetap beralasan dirinya tidak mempunyai wewenang memberikan subsidi rendemen sebesar itu. "Biarlah saya dikatakan GM goblok atau tidak mampu. Tapi untuk menetapkan rendemen, itu seharusnya kita bentuk tim kecil,” kata Soemartono.
Karena hingga pukul 17.00 WIB tidak tercapai titik temu, akhirnya Ketua Komisi B Handy Widyawan yang memimpin sidang mengakhiri hearing, dengan kesimpulan bahwa Komisi B merekomendasikan agar ada jaminan rendemen 8 persen bagi tebu petani tanpa syarat.
Rekomendasi itu akan diteruskan ke Pemkab Jombang dan Direksi PTPN X sebagai BUMN induk dari dua PG di Jombang tersebut. "Dan sebelum ada kesepakatan baru, pihak PG tidak boleh melakukan proses penggilingan tebu dari manapun," kata Handy Widyawan. [rief]
Post a Comment