Oleh: Sunu Budiman
BONGKAR Ratoon tahun 2003-2011 diluncurkan sebagai program "obat sesak nafas" petani atas ketepurukan hasil tanam tebu tahun 2002. Saat itu harga gula anjlok di level Rp 2.700 per kilogram, sementara biaya produksi yang ditanggung petani sangatlah tinggi, yakni berkisar Rp 3.000 per kilogram.
Dengan kucuran dari pemerintah sebesar Rp 800 miliar, yang dipinjamkan kepada petani tanpa persentase bunga ini, terbukti mampu mendongkrak produksi dari 2.100.000 ton tahun 2002, menjadi 2.650.000 ton pada masa panen 2011. Hal ini merupakan sebuah peningkatan produksi yang bersumber pada peningkatan mutu tanaman.
Atas keberhasilan program itu, untuk masa tanam 2013, pemerintah memberikan reward bongkar ratoon jilid 2 untuk di Jawa Timur seluas 28.400 hektar senilai lebih Rp 280 miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Tapi berupa natura senilai Rp 10 juta per hektar, yakni berupa bibit, pupuk majemuk dan organik, serta mekanisasi berupa alat tebang muat dan traktor sebanyak 95 unit.
Walaupun program itu tidak dibebani pengembalian pinjaman, tapi hanya membayar sebagaian pinjaman kepada koperasi yang menaungi petani dalam berbudidaya tebu. Namun, program itu dirasa tidak menarik, baik bagi petani penerima manfaat maupun koperasi yang menaunginya.
Kondisi tersebut disebabkan oleh Pertama, pengadaan bibit dan pupuk yang melalui lelang atau kontraktual, dan syarat-syarat teknis yang tidak mudah dipenuhi. Contoh, sertifikasi bibit, uji mutu pupuk. Kedua, pemenang lelang diragukan kemampuan teknisnya terkait teknologi tanaman tebu jika mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan serta perubahannya (Permenkeu No 248/PMK/07/2010).
Ketiga, dalam pelaksanaan program ini, tim teknis terkesan membebankan kepada petani dan koperasi petani. Misalnya, koperasi petani yang kemampuan serapannya melaksanakan bongkar ratoon jilid 1 masih rendah, dipaksa untuk mengelola lebih dari 500 hektar.
Hal ini juga diakui oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jatim, Ir Samsul Arifin yang menyatakan, "Program ini sangat sulit dan rumit, tapi KPTR di Jatim harus menerima, karena ini merupakan reward Jatim atas keberhasilan program bongkar ratoon I," kata Syamsul Arifin, beberapa waktu lalu.
Sementara kenyataannya, kegiatan berbudidaya tebu masa tanam 2013 ini, petani diterpa oleh 4 (empat) anomali, yakni anomali cuaca cenderung tidak bersahabat. Anomali rendemen rendah, dimana semua pabrik gula (PG) cenderung memberi rendemen rendah. Anomali harga gula rendah, dimana seharusnya harga gula berbanding lurus dengan kurs Dollar terhadap Rupiah. Dan anomali biaya produksi tinggi sebagai imbas kenaikan harga BBM.
Dari anomali ini, petani rentan mengalami kerugian. Terhitung, dari satu titik anomali saja, petani merugi rata-rata Rp 2 juta per hektar. Bisa dipastikan kerugian yang dialami petani jika keempat anomali tersebut menimpa petani secara bersamaan dan beruntun.
Apabila semangat petani patah dalam berbudidaya tebu karena anomali tersebut, tentunya kegiatan tanam tahun ini juga bakal tersendat. Akankah rendahnya produktivitas tebu hanya gara-gara tidak adanya peremajaan tanaman atau lebih dikenal dengan bongkar ratoon. Lantas, program bongkar ratoon jilid 2 ini apa istimewanya?. [*]
Program Bongkar Ratoon Jilid 2, Apa Istimewanya ?
Written By Arti News on Thursday, 5 September 2013 | 13:21
Labels:
opini
Post a Comment